Selasa, 19 Januari 2016

[Cerpen] Love in Class: The First Week

Sayang itu bagaimana membuat seseorang itu bahagiaBukan bagaimana membuat seseorang itu menjadi milikmu
Cinta itu perasaan sayang yang tak dapat kita bedakan, paksakan, dan ungkapkan
dengan kata - kata
Bukan perasaan sayang yang hanya bisa diungkapan

MINGGU PERTAM
Libur telah usai. Sekolah pun dimulai. Ada perasaan senang dan tidak senang. Kucari namaku dalam papan mading. Aku sampai di kelas. Kelas tampak sepi. Aku mencari bangku dan duduk.

"Oi! Misa! Lo disini? sekelas dong kita! Uyeaa! Untung ada yang gue kenal, kalo nggak ada, mati gue!", sapa seseorang yang berisik dan sangat semangat. Semangat banget nih anak pagi-pagi, batinku.

Satu per satu murid berdatangan. Orang berisik itu tadi bercerita banyak lebar dan tentunya dengan semangat, tetapi kuhiraukan.

"Eh, lo tau? Gue...", terputus bawel si semangat, Niya, melihat seseorang yang sekarang sedang berada di depanku.

"Loh, Misa? Disini juga? Duduk sama siapa? Sama aku ya?", ajak Fia dengan menunjukkan telunjuk pada dirinya sendiri.

"Boleh juga.", jawabku.

"Woi! Kan gue duluan yang ngajak ngomong, seharusnya Misa duduk sama gue dong! Atau kita suit aja, ayo! Come on! Come on!", Niya tidak terima dan mengajak duel suit.

"Ah curang, curang, curang! Hasilnya pasti nggak gitu, curang, curang, curang!", Niya tidak terima karena Fia yang memenangkan duel ajakannya.

Masuk seorang cowok bersama temannya. Oh tidak anak itu? batinku.

Bersamaan dengan mereka duduk di kursi mereka, seorang guru pun masuk dan mengenalkan dirinya.

***
"Sa, ayo ke kantin!", ajak Fia. Jam telah menunjukkan waktu istirahat. Saat kelas satu dulu, aku dan Fia sering ke kantin walaupun kadang aku merasa malas ke sana, ini demi Fia yang senang sekali melihat seseorangnya disana. Niya? Aku beri satu rahasia Niya. Niya dulu bukan anak periang yang seperti saat ini. Dia lebih suka berada di kelas dan memakan bekalnya. Karena suatu kejadian, ia menjadi anak periangnya minta digebukin.

"Jangan deh Mis, kantinnya rame. Mending disini sama gue, sama nih, Vika. Pinter loh dia. Baik juga. Gak kaya lo Fia. Hohoho...", tawa ledek Niya dan sambil mengenalkan Vika pada kami.

Vika adalah anak pindahan dari Singapura. Ia harus ikut pindah karena pekerjaan orang tuanya. Sebenarnya Vika orang Indonesia asli.

"Apaan sih, dasar, ayo suit lagi, siapa yang menang, kalo aku yang menang jangan berisik, kalo kamu yang menang, em... enaknya... em...", tantang Fia. Sepertinya mereka senang sekali dengan permainan suit ini. Fia memang jago untuk permainan keberuntungan ini.

"Woke, kalo gue yang menang traktir bakso sepuas gue, deal? Deal! Oke, batu gunting ker... tas!", jawab Niya dengan semangat menerima tantangan, dan hasilnya Fia lagi yang menang.

Sekali lagi Fia mengajakku tetapi untuk kali ini aku tetap tidak ingin beranjak dari kursiku. Aku mengabaikan mereka. Hanya memerhatikan anak lain yang sedang asik bermain pesawat kertas. Di terbangkan pesawatnya, dan mendarat padaku. DHEG... Perasaan apa ini? Teman-temannya menyorakiku dan dia.

"Cie, cie, Dika, cie, cie, cuit cuit!", sorak semua anak yang sama memainkan pesawat kertas.

Dan si berisik ini pun juga ikut menyorakiku, "Wah... Pandangan pertama awal aku berjumpa, teett! Cie lo oke deh Mis! Mantap!", dengan menyanyikan lagu sebuah band.

Kelas begitu ramai dengan suara sorakan. Sampai-sampai guru datang dengan marah karena kelas begitu ramai, ternyata bel masuk sudah berbunyi. Aku sangat malu.

Sekolah pun telah usai. Murid-murid berhamburan meninggalkan kelasnya. Aku pun begitu bersama Fia dan Niya, kebetulan Vika selalu dijemput dengan supirnya, jadi ia tidak bisa bersama, arah pulangnya pun tidak searah.

Kami berpisah di pertigaan selanjutnya. Aku pun terbebas dari suara berisik mereka berdua. Terdengar suara bel sepeda mendekat. Sepeda itu melewatiku.

DHEG... perasaan ini lagi. Ada apa sebenarnya? Sepeda itu pun menghilang ditelan rumah-rumah sekitar.

***